Antibiotik adalah salah satu jenis obat paling penting dalam dunia kedokteran modern. Sejak ditemukan pertama kali oleh Alexander Fleming pada 1928, antibiotik telah menyelamatkan jutaan nyawa dari infeksi bakteri yang dulunya mematikan. Namun, penggunaan antibiotik harus dilakukan dengan bijak dan sesuai aturan. Salah satu prinsip penting yang selalu ditegaskan oleh dokter dan apoteker adalah: “Antibiotik harus dihabiskan.” Pernyataan ini sering kali dipertanyakan, terutama jika seseorang sudah merasa sembuh lebih awal dari durasi terapi. Lantas, apakah benar antibiotik harus selalu dihabiskan? Dan apa dampak jika kita berhenti sebelum waktunya?
1. Mengapa Antibiotik Tidak Boleh Dihentikan Sebelum Waktunya?
Ketika seseorang mengonsumsi antibiotik untuk infeksi bakteri, obat tersebut bekerja membunuh atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Di hari-hari awal terapi, antibiotik biasanya menghancurkan sebagian besar bakteri yang lebih lemah. Hal inilah yang menyebabkan gejala cepat membaik, misalnya demam turun, nyeri berkurang, atau batuk mereda. Namun, ini tidak berarti semua bakteri sudah hilang.
Masih ada kemungkinan bakteri yang lebih “kuat” atau lebih resisten bertahan hidup. Jika pengobatan dihentikan terlalu cepat, bakteri-bakteri ini bisa kembali berkembang biak. Infeksi bisa kambuh, bahkan seringkali menjadi lebih berat karena bakteri yang tersisa kini lebih tangguh terhadap antibiotik.
Sebuah studi dalam jurnal Cochrane Database of Systematic Reviews oleh Spinks et al. (2013) menunjukkan bahwa menghentikan antibiotik sebelum waktunya pada kasus seperti radang tenggorokan streptokokus dapat meningkatkan risiko kekambuhan dan komplikasi serius seperti demam rematik. Hal serupa berlaku pada berbagai infeksi lain, seperti infeksi saluran kemih, pneumonia, dan infeksi kulit berat.
2. Resistensi Antibiotik: Ancaman Kesehatan Global
Salah satu alasan utama mengapa antibiotik harus digunakan sampai habis adalah mencegah resistensi antibiotik. Resistensi terjadi ketika bakteri mengalami perubahan genetik yang membuatnya mampu bertahan dari serangan antibiotik. Bakteri yang semula mudah dibunuh kini menjadi kebal, dan pengobatan pun menjadi lebih rumit.
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga masyarakat luas. Semakin banyak kasus resistensi, semakin tinggi risiko kegagalan pengobatan secara umum. WHO menyebut resistensi antibiotik sebagai salah satu ancaman kesehatan terbesar abad ke-21.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat—termasuk tidak menghabiskan obat, menggunakan antibiotik untuk infeksi virus (seperti flu), atau menyimpan sisa obat untuk digunakan di masa depan—menjadi penyebab utama meningkatnya resistensi.
3. Apakah Harus Selalu Sampai Habis?
Meskipun pesan “harus dihabiskan” masih sangat relevan, beberapa penelitian terbaru mulai meninjau ulang pendekatan ini, terutama untuk infeksi ringan. Artikel dari BMJ oleh Llewelyn et al. (2017) menyatakan bahwa untuk beberapa infeksi tertentu, durasi terapi antibiotik yang lebih pendek, misalnya 3–5 hari, sudah cukup efektif — asalkan diberikan dengan dosis yang tepat dan dalam pengawasan dokter.
Artinya, pendekatan modern tidak lagi menyamaratakan semua kasus infeksi. Durasi terapi ditentukan berdasarkan jenis bakteri, lokasi infeksi, daya tahan tubuh pasien, dan jenis antibiotiknya. Namun demikian, penghentian terapi tidak boleh dilakukan atas inisiatif sendiri, melainkan atas evaluasi dokter.
4. Apa Yang Harus Dilakukan Jika Timbul Efek Samping?
Kadang-kadang, pasien merasa tidak nyaman saat mengonsumsi antibiotik, misalnya mual, diare, atau ruam. Efek samping ini memang bisa terjadi, tetapi bukan alasan untuk langsung menghentikan obat tanpa konsultasi. Beberapa antibiotik memang memiliki reaksi tertentu, namun dokter biasanya sudah mempertimbangkan manfaat lebih besar dibanding risikonya. Jika efek samping terasa berat, konsultasikan ke dokter segera, karena bisa jadi obat perlu diganti — bukan dihentikan sendiri.
Antibiotik adalah senjata ampuh, namun jika disalahgunakan, bisa berubah menjadi ancaman. Menghabiskan antibiotik sesuai resep bukan hanya untuk kesembuhan pribadi, tetapi juga untuk menjaga efektivitas antibiotik bagi generasi mendatang.
Ingat:
- Jangan berhenti minum antibiotik hanya karena merasa lebih baik.
- Jangan simpan antibiotik untuk digunakan di kemudian hari.
- Jangan berbagi antibiotik dengan orang lain.
- Selalu konsultasikan dengan dokter atau apoteker jika ada pertanyaan atau efek samping.
Referensi:
- Spinks, A., Glasziou, P. P., & Del Mar, C. B. (2013). Antibiotics for sore throat. The Cochrane database of systematic reviews, 2013(11), CD000023. https://doi.org/10.1002/14651858.CD000023.pub4
- Ventola C. L. (2015). The antibiotic resistance crisis: part 1: causes and threats. P & T : a peer-reviewed journal for formulary management, 40(4), 277–283.
- Llewelyn, M. J., Fitzpatrick, J. M., Darwin, E., SarahTonkin-Crine, Gorton, C., Paul, J., Peto, T. E. A., Yardley, L., Hopkins, S., & Walker, A. S. (2017). The antibiotic course has had its day. BMJ (Clinical research ed.), 358, j3418. https://doi.org/10.1136/bmj.j3418
sumber gambar: https://images.app.goo.gl/nH21266J7oRrKLmeA